Melawan "Krisis Berfikir"


Melawan “Krisis Berfikir”
Oleh: Atras Zihny T.

Dijaman milenial ini, setidaknya kita temui disekitar kita bagaimana generasi sekarang banyak yang mengalami krisis berfikir. Dimana mereka memiliki karakter-karakter: malas berfikir, kehilangan rasa keingintahuan, lemahnya kemampuan menganalisis suatu masalah, menempatkan posisi berfikir setelah bertindak, rendahnya keinginan untuk membaca dan keengganan memanfaatkan sumber daya manusia paling penting yakni otak kita. Kita sebut saja mereka dengan Brainless.

Oleh karena itu artikel ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan ilmu berdasarkan pengalaman, pengamatan, dan membaca. Sehingga sedikit banyak dapat mendorong seseorang untuk meninggalkan krisis berfikir menuju berfikir kritis, sebagai tuntutan perkembangan jaman yang terus berputas sedemikian cepat.

Krisis berfikir dilingkungan sekolah

Ternyata benar kata ayah saya, “Tras, kalau semisalnya kamu belum jelas dengan penyampaian gurumu di sekolah, jangan malu untuk bertanya, jika memang ada yang ingin kamu tanggapi, katakana saja, angkat tanganmu dan bicaralah… Jika kamu ditanya gurumu, jawablah semampumu apa yang kamu pikirkan, jangan takut salah tetapi berfikirlah ‘siapa tahu benar’. Banyak anak sekolahan yang enggan berfikir, dan maunya hanya menerima ilmu tapi tidak mau mengeluarkan ilmu, padahal ada sumber daya ilmu di kepalanya. Dan juga tidak mau menyampaikan apa yang ada dari kepalanya, bisa jadi karena tidak percaya diri, malu karena takut salah, atau memang karena tidak ada jawaban dari isi kepalanya. Dan yang terakhir ini, sebabnya adalah karena tidak mau berfikir, padahal berfikir salah itu tidak apa-apa, nanti gurumu pasti akan membetulkannya.”
Entah berapa kali ayah saya mengatakan kalimat seperti itu, dan saya pernah bertanya, “Pak, emang gimana sih caranya mengeluarkan sumber daya ilmu, sedangkan saya masih belajar, belum cukup ilmu? Ayah saya menjawab, “Makanya rajin membaca… hasilnya adalah ilmu. Makanya dengarkan gurumu saat menjelaskan sesuatu…karena itu dapat  menghasilkan ilmu. Nanti kekuatan ilmu akan muncul sendiri jika memang dirangsang.” Saya masih belum mengerti dan bertanya, “Maksud dari merangsang apa, Pak? Kata ayah, “… Bisa dirangsang dengan pertanyaan guru, bisa juga muncul secara otomatis dipikiranmu ketika guru menjelaskan sesuatu. Ada sesuatu yang mengganjal dipikiranmu. Nah, itu tanda-tanda ada rngsangan yang membuatmu berfikir. Tinggal ada keberanian atau tidak untuk mengungkapkannya. Kamu kan masih bocah, gurumu bakal tahu pikiran bocah itu seperti apa… pasti dimaklumi.”
Begitulah, ayah saya sering membimbing saya berkenaan dengan apapun keresahan dan kegalauan saya. Bahkan lebih sering berbicara dengan ayah, saya selalu bertambah ilmu. Meski kadang tidak begitu paham lebih dalam, apa yang dimaksud dalam perkataanya. Ayah saya selalu memotivasi saya agar menjadi orang yang cerdas, kreativ, berwawasan, dan optimis. Saya itu dulu gak suka membaca buku tapi ayah saya selalu mendorong saya agar literasi membaca saya itu tinggi, kata ayah saya orang-orang Brainless itu rata-rata literatur membacanya rendah, dan Indonesia merupakan Negara dengan warga yang literasi membacanya paling rendah. Pernah saya mendapat pesan, “Kamu harus rajin belajar, karena orang bodoh itu berbahaya!” Begitu saya menanyakan maksudnya dijawab, “Nanti kamu akan tahu sendiri..!”.
Kalau dilingkungan sekolah dimana saya belajar bersama teman-teman, kadang saya merasa juga. Misalnya teman-teman yang sukanya mencontek hasil PR temannya, kalau diskusi hanya beberapa yang aktif, menanggapi maupun memberi pertanyaan terhadap guru saat di kelas juga hanya beberapa saja yang melakukan itu. Jujur, saya termasuk anak yang “masih malu” untuk bertanya pada guru, meski sebenarnya saya menyimpan beberapa pertanyaan pada saat itu. Meski ayah selalu mendorong saya untuk aktif bertanya, tetapi saya belum cukup kuat menepis rasa malu. Mungkin perlu dorongan guru juga agar saya berani bertanya. Mungkin teman-teman saya juga memiliki perasaan sama.
Disini saya menyadari bahwa saya telah mencoba untuk pergi dari krisis berfikir menuju berfikir kritis, tetapi tidak berhasil juga dalam beberapa hal. Tetapi saya selalu ingat kata ayah, “Ingin pintar ada prosesnya…ingin sukses ada prosesnya… gurumu dulu juga bisa jadi lebih buruk dari kamu saat seusiamu.”
Kebanyakan pelajar menjadi brainless karena mengesampingkan kebijaksanaan, akal sehat, malas dan selalu mengikuti egonya dan tidak suka dikritik yang menyebabkan tercebur ke dalam krisis berfikir sehat. Sementara yang berfikir kritis malah seperti dijadikkan musuh. Ini bagian dari ciri dari krisis berfikir dilingkungan sekolah.

Krisis berfikir di lingkungan masyarakat
Perlu diketahui menjelang pilpres 2019 lalu, di media social ramai terjadi perdebatan antar kubu pendukung, yang tentu saja “tidak ada yang mau mengalah”. Masing-masing maunya menang sendiri, selalu mengagungkan jagoannya dan memandang rendah lawan politiknya. Perdebatan kusir bertebaran di media social. Yang lebih memperhatinkan lagi adalah kenyataan bahwa model “berfikir katrok” tersebut juga dilakukan oleh kalangan-kalangan terdidik. Bahkan mereka yang terdidik itu dengan cerdasnya membuat berita-berita hoax, menciptakan konflik dalam masyarakat. Saya kira bangsa Indonesia tergambarkan sebagai bangsa yang memiliki budaya santun, lemah lembut, paling tidak pemahaman itu yang kami terima di sekolah. Tetapi begitu saya aktif di media social Facebook dan Twitter, disana saya berteman dengan berbagai kalangan masyarakat. Setiap kali melihat beranda, pasti yang tersaji dihadapan saya adalah pertempuran argumentasi baik di grup-grup kalangan intelektual, status, dan juga dalam bentuk catatan catatan di Fb. Disana bertebaran kampanye hitam yang menyerang personalitas kandidat RI 1, pada saat itu.
Maraknya kampanye hitam ini dapat dikatakan sebagai bagian dari masih begitu tingginya “krisis berfikir” dalam masyarakat. Krisis berfikir inilah yang membuat masyarakat tidak demokratis (terbuka), bersikap keras kepala dan mudah mempercayai sesuatu yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, menebar kebencian dan merusak kerukunan. Dan saya menyakini seperti inilah “sumbu pendek”, istilah yang sering saya baca di status-status mereka. Dikatakan “sumbu pendek” atau Brainless selama pola pikir mereka masih mengedepankan ego masing-masing dan keluar dari akal sehatnya.
Pada dasarnya krisis berfikir merupakan kondisi dimana orang tersebut lebih mengedepankan hawa nafsu dan egonya tanpa memperhatikan efeknya. Orang yang krisis berfikir akan susah berfikir karena otaknya jarang digunakan untuk mikir. Tidak mempunyai gagasan sama sekali. Kemalasan merupakan factor utama penyebab krisis berfikir. Sebenarnya Tuhan itu member kita akal, tapi kita tidak bisa menggunakan akal kita karena minimnya sumber daya ilmu. Sebenarnya gampang mencari sumber daya ilmu, tapi kita tidak mempunyai fasilitas untuk menggali ilmu tersebut karena minimnya kemampuan berfikir dan rusaknya pola berfikir.  Pergaulan menjadi salah satu penyebabnya, dalam pergaulan pasti ada hubungan social dan terjadi interaksi social. Dan diinteraksi inilah seseorang dapat terpengaruhi kemampuan berfikirnya dan pola pikirnya. Kenapa? Karena rangsangan yang dibuat teman pergaulan itu besar, kita pasti akan menerima rangsangan tersebut dan pola fikir kita yang mulanya positif bisa menjadi negative ataupun sebaliknya hal itu disebabkan oleh otak kita yang selalu merangsang sebuah rangsangan yang kemudian pasti akan membentuk sebuah pola fikir yang baru. Jadi bisa disimpulkan bahwa orang yang krisis berfikir itu tidak mempunyai pendirian. Dan pola fikir seseorang bisa berubah tergantung rangsangan yang ada dan keberanian diri kita untuk mengeluarkan semua hasil fikiran dari otak yang disusun oleh pola fikir.

Kesimpulan dan Solusi
Dari berbagai persoalan yang saya sebutkan diatas, bahwa salah satu menepis dan melawan krisis berfikir adalah dengan berfikir kritis. Pemikiran kritis terbentuk dari pola pikir kita, pola pikir adalah cara berfikir yang sudah menjadi karakter si pemikir. Munculya pola piker disebabkan oleh karakter yang dibangun lama, karakter seseorang oleh lingkungan entah itu keluarga, masyarakat, lingkungan pergaulang dan juga termasuk bacaan. Kalu bacaannya berkualitas pasti pola pikirnya berkualitas karena ikut membentuk pola pikir.
Solusi yang saya berikan untuk masalah ini adalah tingkatkan literasi membacamu, bergaulah dengan orang yang sekiranya memiliki pandangan hidup yang optimis, berpendirian, dan cerdas.
Sebuah artikel menarik semoga juga bias menjadi solusi, akan say kutipkan. “penddidikan melalui institusinya yaitu sekolah (SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi), diharapkan mampu umtuk menjadi wadah bagi para peserta didik untuk mengasah pemikiran kritisnya. Sekolah dengan dinamika tuntunan kurikulum dan  zaman juga diharapkan mampu untuk menerapkan kompetensi 4C yaitu, Critical thinking (berpikir kritis), Collaboration (jaringan), Creativity (kreativitas), dan Communication skill (teknik berkomunikasi) untuk dapat beradaptasi dengan tantangan zaman. Critical thinking atau berpikir kritis menjadi salah satu aspek penting bagi psert didik, dengan tujuan ia dapat mengkaji segala informasi dan kebijakan yang dihadapinya di lingkungan sekolah, masyarakat, dan bahkan lebih luas lagi, yaitu dunia.” (Kompasiana 20 Mei 2019).
Kemudian untuk meningkatkan perlawanan terhadap krisis ini yaitu dengan membangkitkan rasa penasaran terhadap ilmu pengetahuan, harus rajin membaca, harus berani menanggapi persoalan, harus berani bertanya, jangan merasa puas atas keadaan (ciptakan sesuatu lebih baik), harus berani mengungkapkan semua yang muncul dari otak kita, membiasakan diri dan berlatih berfikir kritis, dan dalam prakteknya kita harus berfikir terlebih dahulu sebelum bertindak. Siap untuk bersikap terbuka dan menerima kritik. Adapun dalam rangka berhijrah, hargailah prosesnya, dan Insya Allah “…akan indah pada waktunya…”


                                                                                    Tegal, 17 Agustus 2019



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MARS SMP NEGERI 1 TARUB

SEJARAH BERDIRINYA SMP NEGERI 1 TARUB